Senin, 04 Juli 2011

Muhkam dan Mutasyaabih

Agus Subandi, Drs. MBA


BAB I
PEMBAHASAN


1.1 Definisi Al-Muhkam dan Mutasyabih
Ayat-ayat yang terkandung dalam al-Qur’an adakalanya berbentuk lafaz, ungkapan, dan uslup yang berbeda tetapi artinya tetap satu, sudah jelas maksudnya sehingga tidak menimbulkan kekeliruan bagi orang yang membacanya. Di samping ayat yang sudah jelas tersebut, ada lagi ayat-ayat yang bersifat umum dan samar-samar yang menimbulkan keraguan bagi yang membacanya sehingga ayat yang seperti ini menimbulkan ijtihad bagi para mujtahid untuk dapat mengembalikan kepada makna yang jelas dan tegas.
Kelompok ayat pertama, yang telah jelas maksudnya itu disebut al-Muhkam, sedangkan kelompok ayat yang kedua yang masih samar-samar disebut dengan Mutasyabih, kedua macam ayat inilah yang akan menjadi pembahasan pada bagian ini.
Pada sisi lain al-Qaththan mengatakan bahwa al-Qur’an seluruhnya muhkam dan juga mutasyabih. Pendapat ini karena memandamg muhkam dan mutasyabih secara umum. Seluruh al-Qur’an adalah Muhkam, jika kata muhkam itu berarti kokoh, kuat, membedakan antara yang hak dan yang bathil, yang benar dan yang salah. Dan al-Qur’an itu seluruhnya adalah mutasyabih, jika mutasyabih itu berarti kesempurnaan dan kebaikan. Al-Qur’an suatu ayat dengan ayat yang lainnya saling menyempurnakan dan memperbaiki ajaran-ajaran yang salah yang selalu dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

a. Muhkam
Menurut bahasa terambil dari hakamutud daabah wa ahkamat, artinya melarang. Sedangkan menurut istilah terdapat khilafiyah sesama ahli ushul mengenai artinya yaitu:
1. Yang dinamakan Muhkam adalah yang diketahui apa yang dimaksud dengannya. Adakalanya secara zahir atau nyata dan adakalanya dengan takwil atau pengalihan artinya.
2. Yang dinamakan Muhkam adalah apa yang tidak mungkin ditakwilkan, tapi ia hanya satu arah saja.
3. Yang dinamakan Muhkam adalah yang jelas atau terang yang dimaksud dengannya, sehingga ia tidak mungkin dihapuskan.
4. Yang dinamakan Muhkam adalah apa yang berdiri sendiri dan tidak membutuhkan penjelasan.
5. Yang dinamakan Muhkam ialah sesuatu yang kokoh dan bundar sehingga tidak ada seginya.
b. Mutasyabih
Menurut bahasa adalah berasal dari:
التَشَابُهُ : بشْبِهُ أحدٌ الشَئينِِ
Terjemahannya:
Salah satu dari dua menyerupai yang lainnya.
Ia mengandung pengertian:
Al-musyaarakatu atau kebersamaan, karena ada keserupaan dan bentuknya yang mengakibatkan keraguan. Umpamanya firman Allah Swt mengenai Bani Israil, yaitu:
…. •    …. 
Terjemahannya:
Sesungguhnya sapi serupa-serupa menurut penglihatan (surat Al-baqarah:70)

Sedangkan menurut istilah ialah:
1. Apa yang bertalian dengan pengaruh ilmu Allah, seperti: assaa’ah atau kehancuran total, keluar binatang-binatang besar dan dajal.
2. Apa yang tidak dapat berdiri sendiri dan membutuhkan keterangan yang lainnya.
3. Apa yang memungkinkan pengertian yang tidak satu saja.
4. Apa yang tidak terang, apa yang dimaksud dengan membutuhkan nasakh atau penghapusan.
c. Beberapa pendapat mengenai definisi Al-Muhkam dan Mutasyabih yaitu:
Pertama, Al-Muhkam, apa yang telah diketahui maksudnya. Mutasyabih, terserah kepada Allah ilmunya.
Kedua, Al-Muhkam, apa yang tidak mengandung selain dari satu bentuk. Mutasyabih yaitu yang mengandung beberapa bentuk.
Ketiga, Al-Muhkam, apa yang berdiri dengan sendirinya tidak memerlukan keterangan. Mutasyabih, yaitu apa yang tidak berdiri dengan sendirinya, memerlukan penjelasan dengan dikembalikan pada yang lainnya.
Ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh ulama tafsir mengenai Muhkam dan Mutasyabih:
1. Menurut As-Suyuthi, Muhkam adalah sesuatu yang jelas artinya, sedangkan Mutasyabih adalah sebaliknya.
2. Menurut Imam Ar-Razi, Muhkam adalah ayat-ayat dalalah-nya kuat baik maksud maupun lafaznya, sedangkan Mutasyabih adalah ayat-ayat yang di dalamnya lemah, masih bersifat mujmal, memerlukan takwil, dan sulit dipahami.
3. Menurut Manna’ Al-Qaththan, Muhkam adalah ayat yang maksudnya dapat diketahui secara langsung tanpa memerlukan keterangan lain, sedangkan Mutasyabih tidak seperti itu, ia memerlukan penjelasan dengan menunjuk kepada ayat lain.
Dari pendapat-pendapat tentang ayat-ayat al-Qur’an yang Muhkamat dan Mutasyabihat di atas, dapat disimpulkan bahwa ayat Muhkamat adalah ayat yang sudah jelas, baik lafaz maupun maksudnya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan kekeliruan bagi orang yang memahaminya. Ayat yang Muhkamat ini tidak memerlukan takwil karena telah jelas, lain halnya dengan ayat-ayat Mutasyabihat. Ayat Mutasyabihat ini merupakan kumpulan ayat-ayat yang terdapat dalam al-Quran yang masih belum jelas maksudnya, hal itu dikarenakan ayat Mutasyabihat bersifat mujmal (global), dia membutuhkan rincian lebih dalam.
Para ulama dalam menanggapi sifat-sifat Mutasyabihat mempunyai dua mazhab, yang pertama; mazhab salaf, yaitu: mengimani sifat-sifat yang mutasyabihat itu dan menyerahkan hakikatnya kepada Allah sendiri. Yang kedua; mazhab khalaf, yaitu: mempertanggungkan (mentakwilkan) lafal yang mustahil zhahirnya kepada makna yang layak dengan zat Allah. Mazhab ini dinisbahkan kepada Imamul Haramain (wafat tahun 478 H) dan segolong ulama mutaakhkhirin.


1.2 Pembagian Ayat-ayat Mutasyabih
Mengenai masalah ayat-ayat yang muhkam dan mutasyabih ini terdapat tiga pendapat:
Pertama, bahwa al-quran seluruhnya adalah muhkam, mengingat firman Allah:
…..     ……. 

Artinya:
“Suatu kitab yang dijelaskan (ukhimat) ayat-ayatnya”. ( Q.S Hud : 1 )
Kedua, bahwa al-Quran seluruhnya adalah Mutasyabih, mengingat firman Allah:
كِتَاباً مُتَشَافِى
Artinya:
“(yaitu) al-Quran yang Mutasyabih dan berulang-ulang”.

Ketiga dan yang paling kuat: ada yang Muhkam dan ada pula yang Mutasyabih, dengan beralasan kedua ayat tersebut di atas. Sebab, maksud ukhimat ayatuhu dalam ayat tersebut di atas menjelaskan tentang kesempurnaan al-Qur’an dan tidak adanya pertentangan antar ayat-ayatnya. sedangkan maksud Mutasyabih dalam ayat di atas menerangkan segi kesamaannya dalam kebenaran, kebaikan dan kemu’jijatan.
Ayat-ayat yang jelas dan terang maknanya yaitu al-Muhkam, tidak dibahas terlalu jauh, karena bila kita membacanya kita langsung dapat memahami kandungan isinya. Akan tetapi, yang perlu kita bahas lebih jauh lagi adalah ayat-ayat Mutasyabihat agar kita dapat mengetahui persoalannya.
Ayat-ayat Mutasyabih dapat dikategorikan kepada tiga bagian yaitu: pertama Mutasyabih dari segi lafaznya; kedua, Mutasyabih dari segi maknanya; dan yang ketiga, merupakan kombinasi dari keduanya, yaitu Mutasyabih dari segi lafaz dan maknanya sekaligus.
1. Mutasyabih dari segi lafaz
Mutasyabih dari segi lafaz ini dapat pula dibagi dua macam:
a. Yang dikembalikan kepada yang tunggal yang sulit pemaknaannya, seperti اَلاَْبُ dan يَرْفُوْنَ dan yang dilihat dari segi gandanya lafaz itu dalam pemakaiannya, seperti lafaz اَلْيَدُ dan اَلْعَيْنَ
b. Lafaz yang dikembalikan kepada bilangan susunan kalimatnya, yang seperti ini ada tiga macam:
1) Mutasyabih Karena ringkasan kalimat, seperti firman Allah:
وَاِنْ خِفْتُمْ ألا تُفْسِطُوْا فِيْ الْيَتَامِى
yang dimaksud dengan اَلْيَتَامِى di sini ada juga mencakup اَلْتَيْمَاتِ
2) Mutasyabih karena luasnya kalimat seperti firman Allah:
لَيْسَ كَمِسْلِهِ شَئٌْ niscaya akan lebih mudah dipahami jika diungkapkan dengan لَيْسَ مِسْلِهِ شَئٌْ
3) Mutasyabih karena susunan kalimatnya seperti firman Allah
أُنْزِلَ عَلَى عَبْدِهِ الْكِتَابِ وَ لَمْ يَجْعَلْ لَهُ عُجُوْجًا قَيِّمًا
akan mudah dipahami bila diungkapkan dengan
أُنْرِلَ عَلَى عَبْدَهِ الْكِتَابِ قَيِّمًا وَ لَمْ يَجْعَلْ لَهُ عُجُوْجًا
2. Mutasyabih dari segi maknanya
Mutasyabih ini adalah menyangkut sifat-sifat Allah, sifat hari kiamat, bagaimana dan kapan terjadinya. Semua sifat yang demikian tidak dapat digambarkan secara kongkrit karena kejadiannya belum pernah dialami oleh siapapun.
3. Mutasyabih dari segi lafaz dan maknanya
Mutasyabih dari segi ini, menurut As-Suyuthi, ada 5 (lima) macam, yaitu:
a. Mutasyabih dari segi kadarnya, seperti lafaz yang umum dan khusus
اِقْتَلُوْ االمُْشْرِ كِيْنَ
b. Mutasyabih dari segi caranya, seperti perintah wajib dan sunah
فَا نْكِحُوْا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
c. Mutasyabih dari segi waktu, seperti nasakh dan mansukh
إِتَّقُوْ االلهَ حَقَّ تُقَاتِهِ
d. Mutasyabih dari segi tempat dan suasana di mana ayat itu diturunkan, misalnya:
وَالرَّاسِخُوْ نَ فِى الْعِلْمِ
e. Mutasyabih dari segi syarat-syarat sehingga suatu amalan itu tergantung dengan ada atau tidaknya syarat yang dibutuhkan. Misalnya: ibadah sholat, dan nikah tidak dapat dilaksanakan jika tidak cukup syaratnya.
Ar-Raqhib membagi ayat-ayat mutasyabih menjadi tiga bagian:
1. Ayat yang sama sekali tidak diketahui hakikatnya oleh manusia, seperti waktu tibanya hari kiamat.
2. Ayat Mutasyabih yang dapat diketahui oleh manusia dengan menggunakan berbagai sarana terutama kemampuan akal pikiran.
3. Ayat-ayat Mutasyabih yang khusus hanya dapat diketahui maknanya oleh orang-orang yang ilmunya dalam dan tidak dapat diketahui oleh orang-orang selain mereka.

1.3 Makna Muhkam Dan Mutasyabih
a. Makna Muhkam
Al-Qur’an seluruhnya Muhkamah, jika yang dimaksudkan dengan kemuhkamahannya adalah susunan lafaz al-Qur’an dan keindahan nazhamnya, sungguh sangat sempurna, tidak ada sedikit pun terdapat kelemahan padanya, baik dalam segi lafalnya, maupun dalam segi maknanya. Dengan pengertian inilah, Allah menurunkan al-Qur’an sebagaimana yang ditegaskan dalam firman-Nya: “sebuah kitab yang telah dikokohkan ayat-ayatnya.”(Q.S. Hud: 1)
b. Makna Mutasyabih
Kita dapat menyatakan, bahwa seluruh al-Qur’an adalah Mutasyabih, jika kita kehendaki dengan kemutasyabihannya, ialah kemutamatsilan (serupa atau sebanding) ayat-ayatnya, baik dalam bidang balagh maupun dalam bidang ijaz dan kesulitan kita memperlihatkan kelebihan sebagian sukunya atau yang lain. Dengan pengertian inilah, Allah menurunkan al-Qur’an seperti yang dilandaskan dengan firman-Nya: “Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik yaitu sebuah kitab yang ayat-ayatnya atau serupa, lagi berulang-ulang.”(Q.S. Al Zumar:23)
Yang menyebabkan kita membicarakan Muhkam dan Mutasyabih ialah firman Allah; “Dialah yang telah menurunkan Alkitab (Al-qur’an) kepadamu”. Di antara ayat-ayatnya ada yang Muhkamat. Itulah pokok isi alQur’an. Dan ayat-ayat yang lain yang Mutasyabihat. Adapun orang-orang yang dalam bathinnya ada kecenderungan kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang Mutasyabihat dari al-Qur’an itu, untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari jalan mentakwilkannya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Orang yang dalam ilmunya berkata : “Kami beriman dengan Dia, semuanya itu dari sisi Tuhan kami dan tidak dapat mengambil pelajaran dari padanya melainkan orang-orang yang berakal kuat.”(Ali Imran : 7).
Di dalam ayat itu telah dinyatakan bahwasanya Muhkam adalah imbangan Mutasyabih, sebagai orang-orang yang fasikh (mendalam) ilmunya adalah imbangan orang-orang yang ada kesesatan dalam jiwanya. Para ulama telah menjadikan imbangan-imbangan ini sebagai dasar untuk mendefinisikan Muhkam dan Mutasyabih. Maka banyaklah pendapat-pendapat dalam maudu’i ini yang berbagai macam pula.
Namun demikan pada akhirnya mereka menetapkan, bahwasanya yang dikatakan Muhkam adalah yang menunjukkan kepada maknanya dengan terang, sedikit pun tidak ada yang tersembunyi kepadanya. Sedang Mutasyabih ialah yang kosong dari petunjuk yang kuat, yang menunjuk kepada maknanya. Maka masuklah kedalam Muhkam nash dan zhahir. Ke dalam Mutasyabih masuklah: Mujmal, Muawwal, dan Musykil. Karena lafal mujmal memerlukan penjelasan, lafal muawwal tidak menunjukkan kepada sesuatu makna, terkecuali sesudah takwil, sedang musykil, tersembunyi petunjuknya.
Jelasnya adalah pada ayat yang Muhkam, menyebabkan kita tidak perlu membahasnya, karena dengan membacanya, kita telah mengetahui apa maksud yang tersembunyi dari ayat-ayat Mutasyabih itu, menyebabkan kita membahasnya, supaya kita mengetahui dan menjauhinya agar tidak tergolong dalam golongan yang sesat.
Kebanyakan ulama berpendapat, bahwa yang Mutasyabih tidak ada yang mengetahui takwilnya selain Allah sendiri dan mereka mengharuskan kita ber-waqaf (berhenti) dalam membaca ayat 7 Q.S., Ali Imran, pada lafaz jalalah.
Adapun orang-orang yang rasikh ilmunya maka mereka hanya mengatakan: “Amanna bihi kulum min indi rabbina: kami beriman kepadanya semuanya itu dari Tuhan kami.”
Abu Hasan Al Asy’ary berpendapat bahwa waqaf dilakukan pada warrasikhuna fi’ilmi. Mereka yang rasikh itu mengetahui takwil Mutasyabih. Pendapat ini telah dijelaskan oleh Abu Ishak Asy Syirazy (wafat tahun 476 H) dan dibelanya.
Asy Syirazy berkata: “tidak ada sesuatu pun dari ayat-ayat al-Qur’an yang Allah sendiri mengetahui maknanya.”
Para ulama mengetahui maksudnya, karena sesungguhnya Allah menyebut firman-Nya ini dalam rangka menguji para ulama. Andai kata mereka tidak mengetahui makna Mutasyabih, bergabunglah mereka dengan orang awam.
Ar-Raghib Al-Ashfahani mengambil jalan tengah dalam menghadapi masalah ini. Beliau membagi Mutasyabih dari segi kemungkinan mengetahui maknanya kepada tiga bagian:
a. Bagian yang tidak ada jalan mengetahuinya, seperti waktu terjadi kiamat, binatang keluar dari dalam tanah, dan sepertinya.
b. Bagian manusia mengetahui sebab-sebab mengetahuinya, seperti lafal-lafal ganjil dari hukum-hukum yang sulit/rumit.
c. Bagian yang terletak antara dua urusan itu yang hanya diketahui oleh sebagian orang yang rasikh ilmunya, tidak diketahuinya oleh sebagian yang lain.
Inilah yang diisyaratkan oleh Nabi dengan sabdanya kepada Ibnu Abbas:
الّلهُمَّ فِقْهْهُ فِى الذِّينَ و علِمهُ التَّاويلْ
“Wahai Tuhanku, jadikanlah dia, seorang yang fakih dalam agama dan ajarkanlah takwil kepadanya”.
Pendapat Ar-Raghib ini adalah pendapat yang imbang, tidak ifrath dan tidak tafrith. Zat Allah dan hakikat-hakikat sifat-Nya tidak ada yang mengetahuinya selain dari Allah sendiri.
Dalam pengertian inilah Nabi mengatakan dalam do’anya:
أَنْتَ كَمَا أَثنَيتَ علىَ نفْسكَ لا أَحصى ثَناَءً علَيكَ
Artinya:
“Sebagaimana engkau telah menyanjung diri engkau, aku tidak dapat menghinggakan puji dan sanjung atas diri engkau”.
Mengetahui barang yang gaib adalah di antara hal yang hanya diketahui Allah sendiri.

1.4 Contoh Ayat Mutasyabih yang kembali kepada al-Muhkam
1. Firman Allah Swt:
…  •    •  …. 
Terjemahannya:
“Sesungguhnya Allah mengampuni dosa semuanya (Q.S. Az-Zumar : 53)
Ayat ini termasuk Mutasyabih, karena mengandung dua pengertian yaitu:
a. Allah mengampuni dosa semuanya, bagi yang bertobat.
b. Pengampun dosa, secara keseluruhan
Bagi siapa yang tidak bertobat, maka dikembalikan pada Muhkamah. Adapun yang dikembalikan dari Mutasyabihah kepada al-Muhkamah ialah firman Allah Swt:
       …. 
Terjemahannya:
“Sesungguhnya Aku (Allah) benar-benar suka mengampuni bagi siapa yang bertobat, beriman dan beramal shaleh”. (Surah Thaahaa: 82)
Dari ayat Muhkamah ini terlihat, bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa semua, bagi siapa yang telah bertobat kepada-Nya, dia beriman dan mengikuti jalan hidayahnya.
2. Ayat Mutasyabih
a. Firman Allah Swt:
  •     
Terjemahannya:
“Sesungguhnya KAMI-lah yang telah menurunkan al-Qur’an dan sesungguhnya KAMI ialah penjaganya yang benar-benar”. (Surah Al-Hijr:9)
Ayat ini mengandung dua pengertian, yaitu:
a) Kalimat Inna (KAMI) mengandung pengertian satu yang diagungkan, dan adalah kebenaran.
b) Inna itu untuk jama’ah atau sekumpulan atau banyak.
Pengertian seperti ini adalah bathil. Oleh sebab itu, maka kita harus kembalikan ia kepada ayat Muhkamah.
Ia memungkinkan pula menunjukkan, bahwa Dia (Allah) yang diagungkan satu dan di samping-Nya ada yang lain. Ayat ini dijadikan dalil oleh Nasara sekarang yang berarti tunggal atau ber-trinitas, yaitu bertuhan kepada: (1) Allah, (2) Yesus, dan (3) Roh Kudus.
b. Adapun ayat Mutasyabih yang kita kembalikan kepada Muhkamah, antara lain adalah:
Firman Allah Swt:
    …. 
Terjemahannya:
“Tuhanmu (kamu banyak) ialah Tuhan yang esa/satu”. (Surah An-Nahl: 22)

Terjemahannya:
“Tidak ada Allah mengangkat anak”. (Surah al-Mu’minuun: 9)
       
Terjemahannya:
Katakanlah, “Allah ialah Esa. Allah ash-Shamad”.

Ayat-ayat ini termasuk Muhkamat, yang dimaksud dengan Inna itu hanyalah Allah YANG ESA/SATU yang mengagungkan dirinya

1.5 Hikmah diturunkannya Ayat-ayat Mutasyabih
Para ulama menyebutkan beberapa hikmah dari adanya ayat-ayat Mutasyabih di antaranya:
a. Mengharuskan upaya yang lebih banyak untuk mengungkap maksudnya sehingga dengan demikian menambah pahala.
b. Seandainya al-Qur’an seluruhnya Muhkam, niscaya hanya ada satu mazhab, sebab kejelasannya itu akan membatalkan semuat mazhab selainnya, selanjutnya hal ini akan mengakibatkan para penganut mazhab tidak mau menerima dan memanfaatkannya. Tetapi jika mengandung Muhkam dan Mutasyabih. Maka masing-masing dari penganut mazhab itu akan mendapatkan dalil yang menguatkan pendapatnya. Dengan demikian maka semua penganut mazhab memperhatikan dan memikirkannya. Jika mereka terus menggalinya, maka akhirnya ayat-ayat yang Muhkam menjadi penafsir ayat-ayat Mutasyabih.
c. Apabila al-Qur’an mengandung ayat-ayat Mutasyabih, maka untuk memahaminya diperlukan cara penafsiran dan tarjih antara satu dan yang lainnya, selanjutnya hal ini memerlukan kepada berbagai-bagai ilmu seperti ilmu bahasa, gramatikal, ma’any, bayan, ushul fiqh, dan lain sebagainya. Seandainya tidak demikian niscaya tidak akan muncul ilmu-ilmu tersebut.
d. Al-Qur’an berisi da’wah, kepada orang-orang tertentu dan umum. Orang-orang awam biasanya tidak menyukai hal-hal yang bersifat abstrak. Karena itu, jika mereka mendengar tentang sesuatu yang “ada” tetapi tidak berwujud fisik dan berbentuk, maka ia akan menyangka bahwa hal itu tidak benar, kemudian ia terjerumus ke dalam ta’thil (peniadaan sifat-sifat Allah). Oleh sebab itu, sebaiknya mereka diajak bicara dengan bahasa yang menunjukkan kepada apa yang sesuai dengan imajinasi dan khayalnya dan dipadukan dengan kebenaran yang bersifat empirik.


BAB II
SKEMA AL-MUHKAM DAN MUTASYABIH

BAB III
KESIMPULAN

Adapun yang dapat penulis simpulkan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Muhkam adalah ayat yang sudah jelas maksudnya ketika kita membacanya, sehingga tidak menimbulkan keraguan dan memerlukan pentakwilan.
2. Sedangkan mutasyabih adalah ayat-ayat yang perlu ditakwilkan, dan setelah ditakwilkan baru kita dapat memahami tentang maksud ayat-ayat itu.
3. Ayat-ayat mutasyabih adalah merupakan salah satu kajian dalam al-qur’an yang para ulama menilainya dengan alasannya masing-masing menjadi dua macam, yaitu pendapat ulama Salaf dan Khalaf.
4. Kita dapat mengatakan bahwa semua ayat al-Qur’an itu Muhkam. Jika maksud Muhkam adalah kuat dan kokoh. Tetapi kita dapat pula mengatakan bahwa semua ayat itu adalah Mutasyabih, jika maksud Mutasyabih itu adalah kesamaan ayat-ayatnya dalam hal Balaghah dan I’jaznya.


DAFTAR PUSTAKA

Anwar, Abu., Ulumul Qur’an, (Pekanbaru : Amzah, 2002).

Abidin, Zainal., Seluk Beluk Al-Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992).

Mansur, Kahar., Pokok-Pokok Ulumul Qur’an, (Jakarta : Rineka Cipta, 1992).

Nata, Abuddin., Al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2000).

Quthan, Mana’ul., Pembahasan Ilmu Al-Qur’an 2, (Jakarta : Rineka Cipta, 1995).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar